Pagi yang lembap menyambut tanggal 7 Mei 2025. Udara masih menyisakan aroma tanah basah semalam, dan sinar mentari menerobos malu-malu di balik tirai awan. Di layar ponsel yang terasa hangat di genggaman, pesan dari Bu Susi muncul dengan nada ramah: "Assalamualaikum... Bapak/Ibu, mohon bantuannya untuk mengisi Survei Kepuasan Masyarakat..." Suara notifikasi berdenting lembut, bersahutan seperti irama ketukan jemari di pagi yang tenang.
Satu per satu nama bermunculan. Bu Sri, Bu Rosida, Pak Emil—mereka mengonfirmasi dengan cepat, tulus, dan ringkas. Seperti tetes embun yang jatuh perlahan, komunikasi itu menghadirkan rasa kebersamaan. Di balik huruf-huruf yang sunyi itu, terasa kehangatan—sebuah kebersamaan yang tidak kasat mata, namun nyata dalam setiap balasan.
Tiba-tiba, aroma ayam geprek memenuhi ruang guru, menggoda indera penciuman siapa pun yang melintas. Pesanan datang, tapi tak berpenyandang nama. Chat pun ramai sejenak, tertawa kecil menyelusup di sela percakapan—hangat dan akrab, seperti genggaman tangan dalam dinginnya ruangan ber-AC.
Sore menjelang malam, pesan kembali berdatangan. Pengingat piket, laporan kegiatan siswa, dan ucapan syukur atas keberhasilan tim LCT MIPA yang menghangatkan dada. Seperti dekapan halus di antara lelah harian, semuanya hadir dalam kesenyapan digital yang justru terasa hidup. Jari-jari terus menari, bukan hanya mengetik, tapi menyulam makna di antara kesibukan.
Dalam kesibukan itulah, kami menemukan simpul: bahwa rasa bisa hadir dari pesan sederhana, dari koordinasi kecil, dari tawa ringan di grup—dan dalam semua itu, kita tidak sekadar bekerja, tapi saling menjaga.
Komentar
Posting Komentar