Outbond di Marine Ecopark

Siang ini, setelah memimpin rapat kenaikan kelas 7 dan 8 bersama seluruh jajaran dewan guru, saya menyempatkan diri untuk langsung bergabung bersama tim rapim meninjau pelaksanaan kegiatan outbond siswa asrama. Rasanya lega, satu tanggung jawab administratif telah selesai, dan kini saya bisa menyaksikan secara langsung bagaimana anak-anak kita dibentuk karakternya di luar kelas.





Sebanyak 70 siswa asrama MTsN 1 Bandar Lampung hari ini mengikuti kegiatan outbond di Marine Ecopark, Piabung, Padang Cermin, Bandar Lampung. Acara tahunan ini mengusung tema: "Memupuk Kebersamaan dan Disiplin." Tema yang menurut saya sangat relevan dan penting untuk membentuk karakter generasi muda madrasah.


Tepat pukul 06.00 pagi, anak-anak sudah dijemput oleh truk dari pangkalan TNI AL. Wajah-wajah penuh semangat menaiki kendaraan militer yang gagah itu. Perjalanan 90 menit menempuh jarak sekitar 44 kilometer mereka jalani dengan antusias—semangat petualangan benar-benar tampak dari sorot mata mereka.


Setibanya di lokasi, suasana asri langsung menyambut mereka. Pohon-pohon rindang, semilir angin laut, dan aroma tanah lembap menjadi latar alami kegiatan hari ini. Truk berhenti di area Marine Ecopark, dan para siswa segera diarahkan ke pondokan untuk meletakkan barang-barang mereka. Setelah beristirahat sebentar, kegiatan pun dimulai.


Acara dibuka oleh Ustadz Mustafid, mewakili asrama MTsN 1 Bandar Lampung, para siswa menyimak dengan khidmat dan penuh perhatian. Setelah itu, tim pelatih outbound mengambil alih jalannya acara.


Sebelum masuk ke permainan, para siswa terlebih dahulu dilatih baris-berbaris (PBB). Pelatih memulai kegiatan dengan membangun kedisiplinan dasar. Dari cara berdiri, memberi hormat, hingga mendengar aba-aba dengan cepat—semua tampak membentuk sinyal kuat bahwa ini bukan sekadar kegiatan bermain, tapi pembelajaran nilai-nilai kepemimpinan.


Permainan dimulai, beberapa jenis permainan yang diberikan:


 Kecepatan gerak

 Ranjau tali

 Halang lintang hulahub

 Zigzag ban

 Pipa bocor

 Keseimbangan sedotan


Tiap permainan menyimpan filosofi. Ada yang menekankan kekompakan tim, ada yang menguji kemampuan berpikir strategis dalam tekanan, dan ada pula yang mengharuskan peserta mengesampingkan ego pribadi demi keberhasilan kelompok. Di antara riuh tawa dan sorak dukungan dari teman sekelompok, saya mendengar kalimat-kalimat kecil: “Ayo bisa!”, “Gantian dulu”, “Jangan menyerah!”. Itulah pendidikan karakter sejati—yang tumbuh dari pengalaman langsung, bukan dari ceramah panjang.


Waktu dzuhur tiba, para siswa berwudhu dan shalat berjama’ah di bawah pohon rindang dengan alas tikar sederhana. Setelahnya, mereka makan siang bersama dengan gaya ala militer. Duduk berbaris, makan serentak, dan menjaga kebersamaan dalam kesederhanaan. Momen itu membuat saya teringat masa-masa dulu saat mengikuti pelatihan kepemimpinan—betapa kuatnya kesan yang ditinggalkan oleh kegiatan lapangan semacam ini.


Pukul 14.00, saya tiba di lokasi kegiatan, Marine Ecopark, laut luas tampak membentang, beberapa pondokan berjejer rapi disepanjang pantai. 

Saya berhenti di depan aula yang difungsikan sebagai ruang konsumsi. Beberapa guru sedang menikmati suasana santai dengan berkata oke mendadak berhenti. 

Dengan sigap ibu Munawaroh dan Ibu Irta, menyiapkan makan siang untuk kami. 

Kegiatan dilonggarkan, anak-anak mandi di pantai, bermain bola, dan menikmati keindahan laut Lampung. Angin asin laut, pasir yang hangat di telapak kaki, dan suara gelombang yang lembut seperti terapi jiwa bagi mereka. Saya sempat duduk di bebatuan tepi pantai, memandang mereka bermain sambil bertanya dalam hati: “Berapa banyak dari mereka yang akan mengingat hari ini seumur hidup mereka?”


Pukul 15.30, siswa kembali melaksanakan shalat berjama’ah dan ditutup dengan doa bersama. Suara doa bergema menyatu dengan debur ombak—hening dan syahdu. Ini bukan hanya penutup acara, tetapi pengingat bahwa setiap kebersamaan harus diakhiri dengan kesadaran akan kuasa Tuhan.


Tepat pukul 16.00, rombongan kembali ke asrama. Truk militer kembali membawa mereka pulang, lelah tetapi penuh kesan. Siswa dibariskan dengan rapi, berdoa, lalu satu persatu naik ke atas truk. Saya ikut dalam iring-iringan kendaraan. Tiga truk militer terus bergerak menuju ke asrama siswa mtsn 1 bandar lampung. Perjalanan pulang terasa cepat, sambil menatap langit yang mulai jingga, saya merasa penuh harap. Anak-anak ini bukan hanya pulang membawa keringat dan pasir di sepatu, tapi juga pengalaman, nilai, dan mungkin—sebutir semangat baru dalam jiwa mereka.

Pukul 17:30 Wib, saya kembali memasuki gerbang sekolah. Pak Tugiyo tampak tengah mengawasi pekerjaan pemasangan CCTV digedung baru. 


Hari ini saya merasa bersyukur. Di balik kesibukan administratif dan rutinitas madrasah, saya diingatkan kembali bahwa pendidikan sejati adalah yang menyentuh jiwa, bukan hanya mengisi kepala.



Komentar